Laman

Jumat, 09 Desember 2011

Sumber Hukum Islam


SUMBER HUKUM ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, S.Ag, M.EI

                                             
                       






                                                            

Disusun Oleh:
                                               Ahmad Zaini             : 210235
                                                         


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
SYARI`AH /EKONOMI ISLAM
2011/2012



SUMBER HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
Islam adalah suatu agama yang rahmatan lil ‘alamin yang menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum yang paling utama. Al-Qur’an merupakan kumpulan wahyu Allah SWT yang disampaikan kepada umat dengan perantaraan Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum yang sudah lengkap tetapi terkadang penjelasannya masih bersifat global, sehingga dibutuhkan sebuah penjelasan, yakni Sunnah.
Jika suatu nas hukum tidak dadapati dalam Al-Qur’an atau pun Sunnah, maka barulah dipergunakan Ijma’ (pendapat ulama-ulama atau ijtihad). setelah itu baru Qiyas (pendapat seorang ulama’).
PEMBAHASAN
A.    Sumber Perumusan Hukum Islam
Kata “sumber” dalam hukum fiqh adalah terjemahan dari lafadz “masdar”, jamaknya “mashadir”. Lafadz itu hanya terdapat dalam sebagian literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan dalil atau lengkapnya “al-adillah syar’iyyah”. Mereka yang menggunakan kata “mashadir”sebagai ganti al-adillah tentu beranggapan bahwa kedua kata itu sama artinya.
Secara etimologi, maka akan terlihat bahwa kedua itu tidaklah sinonim, setidaknya bila dihubungkan kepada kata “Syari’ah”. kata sumber (mashdar), atau dengan jamaknya mashadir, dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan norma hukum. Sedangkan “dalil hukum” berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.
Kata “sumber” dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan Sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’. Tetapi tidak mungkin ini digunakan untuk  Ijma’ dan Qiyas karena keduanya bukanlah wadah yang ditimba norma hukum. Ijma’ dan Qiyas itu, keduanya adalah cara dalam menemukan hukum.
Secara etimologi, kata dalil berarti sesuatu yang dapat menunjuki. dalil syara’ dapat dikelompokkan pada dua kelompok, yaitu:
a.       Dalil syara’ yang disepakati yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
b.      Dalil syara’ yang tidak disepakati yaitu Istihsan, Istishab, ‘urf, dan lain-lain.[1]
B.     Al-Qur’an
1.      Pengertian Al-Qur’an
Kata Al-Qur’an dalam bahasa arab merupakan dari kata qara’a yang secara etimologis berarti bacaan.[2] Sedangkan secara terminologis, Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan olehNya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata berbahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasulullah SAW dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibaca. Ia ditadwinkan diantara dua lembar mushaf dimulai dengan Al-Fatihah dan ditutup dengan An-Nas, dan telah sampai kepada kita dengan mutawatir, dianggap beribadah apabila membacanya. Al-Qur’an ini tidak mengalami pergantian atau perubahan apapun, baik isi, lafadz maupun susunan serta hukum-hukum yang terkandung didalamnya.[3] Hal ini dijamin oleh Allah SWT dengan firman-Nya surat Al-Hijr ayat 9:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharannya.”[4]

Dalam kajian Ushul Fiqh, Al-Qur’an juga disebut dengan beberapa nama seperti:
1.      Al-Kitab artinya tulisan atau buku.
2.      Al-Furqon artinya pembeda yang hak dan batil.
3.      Al-Zikr artinya ingat.
4.      Al-Huda artinya petunjuk.[5]
2.      Fungsi dan tujuan Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat mukminin yang percaya akan kebenarannya.
Fungsi turunnya Al-Qur’an kepada umat manusia:
a.       Sebagai hudan atau petunjuk bagi kehidupan umat. Umpamanya pada surat Al-Baqarah ayat 2:
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
b.      Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayang-Nya. Umpamanya dalam surat Luqman ayat 2-3:
“ inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.”
c.       Sebagai Furqon, yaitu pembeda antara yang baik dan yang buruk, antara halal dan haram, salah dan benar, yang dapat dilakukan dan yang terlarang untuk dilakukan. Umpamanya dalam surat Al-Baqarah ayat 185.[6]
3.      Kehujjahan Al-Qur’an
Kehujjahan Al-Qur’an sebagai mana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa kehujjahan Al-Qur’an terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah yang dinukilkan secara Qath’i (pasti). Karena itu, hukum-hukum yang terkandung didalamnya merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa dan bersifat mutlak, seperti firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 57:
“ Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.[7]
4.      Dalalah Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan dalalah dalam pemahaman makna dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki dalalah itu berhubungan dengan pengertian atau makna yang ditujukan oleh nash agar dapat dipahami.
Dalam kajian ushul fiqh, untuk dapat memahami nash-nash apakah pengertian yang ditujunkkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama’ ushul fiqh menggunakan pendekatan yang dikenal dengan istilah qath’i dan dzanny.[8]
Ayat yang bersifat qath’i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain. Ayat-ayat seperti ini, misalnya ayat-ayat waris, hudud, kaffarat. Contoh surat An-Nisa’ ayat 11.
Sedang ayat yang bersifat dzanny adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an mengandung pengertian yang lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. misalnya, lafal musytarak (mengandung pengertian ganda) yang terdapat surat Al-Baqarah ayat 228.
“Wanita-wanita yang ditalak (cerai) hendaklah mereka menahan diri menunggu selama tiga kali quru’.”
Kata quru’ merupakan lafal musytarak yang mengandung 2 makna yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan dengan suci, sebagaimana yang dianut ulama’ Syafi’iyah adalah boleh, dan jika diartikan haid juga boleh sebagaimana yang dianut ulama’ Hanifiyah.
Selain itu, Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung  didalamnya dengan cara:
1.      Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris, dan kafarat. hukum-hukum rinci ini, menurut para ahli ushul fiqh sebagai hukum ta’abudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
2.      Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak rinci berapa kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali syarat, apa rukun dan syaratnya. untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum dan mutlak ini, Rasulullah melalui Sunnahnya bertugas menjelaskan, mengkhususkan dan membatasinnya.[9]
C.     As-Sunnah
1.      Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi, adat istiadat Nabi Muhammad SAW (af’alu. aqwalu dan taqriri).[10] Menurut Al-Imam Abu Zahra mendefinisikan As-Sunnah adalah sabda Nabi, perbuatan beliau, dan taqrir beliau. Jadi Sunnah Rasulullah adalah apa saja yang diucapkan oleh Rasulullah SAW, apa saja yang telah dilakukan oleh beliau, dan apa saja yang dilakukan oleh para sahabat beliau tetapi dibiarkan oleh beliau dalam arti tidak disalahkan beliau.[11]
Sunnah dalam kedudukanya sebagai penjelas, Sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum diluar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.[12]
2.      Pembagian As-Sunnah
Sunnah atau hadits dapat dibagi berdasarkan kriteria dan klasifikasi sebagai berikut:
a.       Berdasarkan segi bentuknya
a)      Fi’liyah, yaitu seiap perbuatan yang dilakukan Nabi yang diketahui dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain.
b)      Qauliyah, yaitu segala perkataan Nabi yang didengar dan disampaikan oleh seseorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
c)      Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya.[13]
b.      Berdasarkan perawinya dan banyaknya perawi
a)      Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan pada tiap tingkatan sanadnya oleh orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya dan menurut akal masing-masing tingkatan perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohonh.
b)      Masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi tidak sampai kederajat hadits mutawatir.
c)      Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang dalam setiap tingkatannya tidak sampai derajat mutawatir.[14]
c.       Berdasarkan Sahih tidaknya
a)      Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya oleh perawi yang adil dan dhabit tanpa ada cacat dalamnya.
b)      Hadits Hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil tetapi kedhobitannya sedikit dibawah kedhobitan hadits shohih.
c)      Hadits Dho’if  adalah hadits yang tidak memenuhi syarat hadits shohih.[15]
3.      Kehujjahan As-Sunnah
Kehujjahan Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-Qur’an didalam menetapkan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan Al-qur’an, oleh karena itu wajib bagi umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang terkandung didalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
4.      Dalalah As-Sunnah
As-Sunnah dilihat dari segi keberadaannya sebagai dasar dalam penetapan hukum, maka terbagi menjadi dua, yakni qath’i al-wurud dan dzanny al-wurud. Menurut Abdul Karim Zaidan dan Abdul Wahab Khalaf, Sunnah yang digolongkan kepada qath’i al-wurud adalah hadits-hadits mutawatir, karene tidak diragukan lagi kebenarannya. Sementara Sunnah yang digolongkan kepada dzanny al-wurud adalah hadits Masyhur dan Ahad, ini dilihat dari segi penukilnya dari Nabi tidak mencapai tingkat mutawatir.
As-Sunnah dilihat dari segi dalalahnya juga dibagi menjadi dua yakni Qath’i al-dalalah dan dzanny al-dalalah. Qath’i al-dalalah adalah hadits-hadits jika dilihat dari segi makna lafalnya tidak mungkin ditakwikan. dengan kata lain Sunnah yang di dalamnya Qath’i itu adalah hadits-hadits dimana pengertian yang ditunjukkannya mengandung makna yang pasti dan jelas.
5.      Fungsi As-sunnah terhadap Al-Qur’an
As-sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Kedudukan As-sunnah adalah menafsirkan Al-Qur’an dan menjadi pedoman dan pelaksana yang autentik terhadap Al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang masih mujmal (umum) maksudnya, maka ayat-ayat seperti ini masih memerlukan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah melalui Sunnahnya. Karena fungsi Sunnah atau Hadits terhadap Al-Qur’an adalah:
a.       As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada di dalam Al-Qur’an
b.      As-Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur’an.
c.       As-Sunnah membentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.[16]
D.    IJMA’
1.      Pengertian Ijma’
Pengertian Ijma’ secara etimologi ada dua macam:
a.       Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus
b.      Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan  sesuatu.
Jadi ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly).[17] Para ulama’ telah bersepakat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara’ tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siapakah ulama’ mujtahidin yang berhak menetapkan ijma’.[18]
2.      Syarat-syarat dan Rukun Ijma’
Ijma’ mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Kesepakatan para mujtahid. maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap Ijma’.
2.      Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid, meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun.
3.      Hendaknya kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama’ mujtahid yang ada pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya.
4.      Kesepakatan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat.
5.      Kesepakatan hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas.
Adapun rukun Ijma’ adalah
1.      Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui Ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid.
2.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia.
3.      Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.      Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
5.      Sandaran hukum  Ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan hadits Rasulullah.
3.      Macam-macam Ijma’
Dilihat dari bentuknya, Ijma’ dibedakan menjadi dua:
a.       Ijma’ Qath’i yaitu suatu kesepakatan para ulama’ dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan diantara mereka. Ijma’ qath’i dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum suatu masalah.
b.      Ijma’ sukuti yaitu suatu kesepakatan para ulama’ dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan yang mendapat tantangan (hambatan) diantara mereka atau,  salah seorang diantara mereka tenang (diam) saja dalam mengambil suatu keputusan.
4.      Cara penetapan Ijma’
1.      Landasan Ijma’
Landasan Ijma’ dari dalil yang qath’i, yaitu Al-Qur’an, Sunnah mutawatir, serta bisa juga berdasarkan dalil dzanny, seperti hadits ahad.
2.      Kemungkinan terjadinya ijma’
Mayoritas ulama’ klasik mengatakan tidak sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Contoh, hukum-hukum yang telah disepakati seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam.
5.      Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa Ijma’ adalah hujjah yang wajib diamalkan dengan alasan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 dan 115, hadits-hadits, dan kesepakatan mujtahid dalam satu pendapat.
E.     Qiyas
1.      Pengertian Qiyas
Menurut bahasa, qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Dengan demikian, qiyas diartikan mengukur sesuatu atas yang lain, agar diketahui persamaan antara keduanya.[19]
Qiyas menurut ulama’ ushul fiqih ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.[20]

2.      Syarat-syarat dan Rukun Qiyas
Syarat-syarat qiyas diantaranya:
a.       Syarat Ashl (soal-soal pokok)
a)      Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’ bukan hukum akal atau bahasa.
b)      Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum.
b.      Syarat-syarat cabang
a)      Hukum cabang tidak lebih dulu ada dari pada hukum pokok
b)      Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama’ ushul berkata apabila datang nash, qiyas menjadi akal.
c)      Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok
d)     Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok
c.       Syarat-syarat Illat
a)      Illat harus tetap berlaku
b)      Illat berpengaruh pada hukum
c)      Illat tidak berlawanan dengan nash
d)     Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu

3.      Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi empat, yaitu:
a)      Qiyas aula yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya (mulhaq bih).
b)      Qiyas musawi yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih.
c)      Qiyas dalalah yaitu suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya.
d)     Qiyas Syibhi yaitu suatu qiyas dimana mulhaqnya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi di qiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaanya dengan mulhaq.[21]
4.      Kehujjahan Qiyas
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan Qiyas dalam hukum-hukum syariat/agama. Dalam hal ini ada beberapa pendapat diantaranya:
a.       Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbat hukum-hukum syara’/agama.
b.      Sebagian ulama’ syi’ah dan segolongan dari ulama’ Mu’tazilah seperti An-Nazzam juga ulama-ulama dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah.[22]

PENUTUP
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan cara dalam menemukan hukum adalah Ijma’ dan Qiyas.
Sebagai sumber hukum islam yang pertama, penjelsan dalam Al-Qur’an kadang bersifat global. Sehingga dibutuhkan sebuah penjelasan yaitu Sunnah.
Ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa Ijma’ adalah hujjah yang wajib diamalkan dengan alasan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 dan 115, hadits-hadits, dan kesepakatan mujtahid dalam satu pendapat.
Qiyas menurut ulama’ ushul fiqih ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya. para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas dalam hukum-hukum syariat/agama.











DAFTAR PUSTAKA

Abdul wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Al-Ala Indonesia, Jakarta, 1970
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1989
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
Chaerul Umam,dkk., Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Masfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta
Moh. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004
Muhammad Ma’sum Zein, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Hikmah, Jombang, 2008
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995
Muin Umar, dkk., Ushul Fiqh, IAIN Jakarta, Jakarta, 1985
Zein Amiruddin, Ushul Fiqih, Teras, Yogyakarta, 2009
Jawaposting.blogspot.com





[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hal. 43-45
[2] Chaerul Umam,dkk., Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal. 23
  [3] Muin Umar, dkk., Ushul Fiqh, IAIN Jakarta, Jakarta, 1985, hal. 64
[4] Moh. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 46
[5] Chaerul Umam,dkk., Log. Cit.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hal.53-54
[7] Jawaposting.blogspot.com
[8] Abdul wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Al-Ala Indonesia, Jakarta, 1970, hal. 76
[9] Chaerul Umam,dkk., ibid., hal.52-55
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hal. 95
[11] Zein Amiruddin, Ushul Fiqih, Teras, Yogyakarta, 2009
[12] Amir Syarifuddin, Log. Cit
[13] Chaerul Umam,dkk., ibid., hal. 61
[14] Masfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, hal. 95
[15] Muhammad Ma’sum Zein, Ilmu Ushul Fiqih, Darul Hikmah, Jombang, 2008, hal. 72
[16] Ibid., hal 86
[17] Chaerul Umam,dkk., ibid., hal. 73-75
[18] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, hal. 308
[19] Chaerul Umam,dkk., Ibid., hal 75-93
[20] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1989,  hal. 76
[21] Muhammad Abu Zahrah, Ibid., hal. 401
[22] Chaerul Umam,dkk., ibid., hal. 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar