Laman

Senin, 19 Desember 2011

OKSIDENTALISME


OKSIDENTALISME
Istilah oksidentalisme dipopulerkan oleh Dr. Hasan hanafi seorang pemikir dari Mesir dan juga penulis al yasar al Islam – islam kiri, Oksidentalisme adalah kebalikan (antonim) dari istilah oreantalisme yang dalam pengertian umum, orientalisme adalah suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Timur.
Yang disebut Timur meliputi kawasan yang luas, termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia yang jauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti negara-negara Arab).
Pengertian secara umum oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat. Dalam oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik. Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian. . Kelahirannya dipicu oleh dominasi kajian Barat terhadap Islam dan adanya ketimpangan akibat westrenisasi yang berpengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tapi juga mengancam kemerdekaan peradaban manusia.
Berbicara tentang latar belakang dan sejarah munculnya oksidentalisme tidak bisa kita lewatkan begitu saja sejarah kecemerlangan peradaban islam dan masa kegelapan peradaban dunia barat. Sejarah telah mencatat era kecemerlangan dunia timur khususnya peradaban islam, bahkan peradaban keilmuan barat berhutang budi dengan peradaban keilmuan islam. Dan ini tidak bisa dipungkiri lagi, Kita ingat masa-masa kegelapan dunia barat sebelum masa kebangkitan, doktrin gereja sangat mendominasi dan mengekang kebebasan mereka dalam bertindak bahkan dalam berpikir, semuanya harus sejalan dengan ajaran gereja yang menjadikan bangsa barat terbelakang dari peradaban lainya. Peradaban islam waktu itu sangat bertolak belakang dengan peradaban barat, peradaban islam sangat mencolok dan maju pesat bak anak panah, universalnya islam telah mengubah bangsa timur dari bangsa yang terbelakang dan primitif menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama, pemerintahan-politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Keadaan ini membuat para pemikir dan cendikiawan barat (bisa disebut oreantalis masa awal) yang sudah bosan dengan doktrin gereja yang kadang tidak sesuai dengan nalar telah terinspirasi serta melirik peradaban islam dan mempelajarinya, mereka hijrah ke wilayah kekuasaan islam dan belajar dari ilmuan-ilmuan islam, maka lambat laun setidaknya dalam beberapa pereode telah merubah wajah barat dari kungkungan kegelapan.
Ketika bangsa Barat mulai bangkit dari keterbelakangan mereka (renaissance), setelah belajar dari dunia timur khususnya peradaban islam, dunia islam mulai keropos, sedikit demi sedikit dan terus terpuruk disebabkan pemimpin-pemimpin islam yang lemah, setelah peradaban islam dihancur-ludeskan oleh pasukan Tartar (bangsa Mongol). Maka barat semakin menunjukkan jayanya dan terus berkembang hingga abad ini. Dari sini muncul tokoh-tokoh oreantalis (pengkaji peradaban ketimuran) yang dengan seiring perjalanan waktu telah berubah menjadi suatu kajian yang bukan hanya mempelajari keilmuan peradaban timur tapi semua yang terkait dengan ketimuran termasuk bagaimana cara menguasai dunia timur (islam) dan penjajahan.

Kajian oksidentalisme adalah kebalikan dari kajian oreantalisme, upaya untuk menanggulangi oreantalisme, Merebut kembali ego timur yang direbut oleh barat dan selama ini barat dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang membangkitkan kekesalan Edward Said dengan menulis buku “orientalism” . Dia mengkritik bahwa kajian barat atas timur kurang lebih bertujuan politis ketimbang ilmiah.
Dunia timur dibuat terpesona dengan kemajuan peradaban barat yang tiada henti serta anggapan timur bahwa mengadopsi kebudayaan barat adalah modernitas atau life styile
Dengan semangat oksidentalisme diharapkan dapat membantu atau menjembatani kebuntuan tersebut. Terpenting, motif di balik kajian oksidentalisme adalah untuk mempelajari akar kemajuan bangsa-bangsa barat, memfilternya dan menerapkanya di dunia timur hingga timur keluar dari keterbelakangannya. Selain itu Oksidentalisme diharapkan mampu menghilangkan kecurigaan yang tidak mendasar terhadap barat yang terus mengendap dipikiran orang timur. selain itu, Oksidentalisme bertujuan mengakhiri mitos bahwa Barat sebagai representasi seluruh umat manusia serta sebagai pusat kekuatan dan penentu modernitas, menghapus eurosentrisme dan menjelaskan bagaimana kesadaran Eropa mengambil posisi tertinggi sampai pada yahap hegemoni di sepanjang sejarah. Selain itu, oksidentalisme juga mengembalikan kebudayaan Barat ke batas alamiahnya setelah selama kejayaan imperialisme menyebar keluar menlalui penguasaan teknologi mendia informasi, pusat penelitian ilmiah dan media penakluk lainnya.

Menurut Hanafi, tugas kiri Islam adalah melokalisasi Barat. Dengan kata lain, mengembalikan Barat kepada batas-batas wilayahnya dan menepis mitos “mendunia” yang ia bangun lewat usaha menjadikan dirinya sebagai “pusat peradaban dunia” sekaligus “peradaban ideal” bagi bangsa-bangsa lain. Secara epistemologis gagasan ini lebih merupakan upaya pembacaan kembali tradisi Barat yang sebenarnya memiliki problem eksistensial.  Perlu ada demitologisasi atas tradisi Barat untuk mengungkapkan kelemahan-kelemahan epistemologis dalam upaya memaksakan diri menjadi sebuah “paradigma yang mendunia”.
Bukti atas realitas tersebut adalah gagalnya ideologi-ideologi modern kontemporer dalam wilayah praktis, utamanya yang terjadi dalam konteks sosial politik Mesir. Begitu juga gagalnya liberalisme Barat yang tidak sanggup memajukan kondisi perekonomian masyarakat. Rontoknya sosialisme negara—dimana revolusi awal terjadi di Mesir pada Juli 1952—ternyata hanya mengubah sistem pemilikan dan cara-cara produksi, tetapi tidak mengubah kebudayaan massa yang masih dalam wajah tradisional. Sosialisme Islam yang pernah ada di Mesir, menurut Hanafi, tidak lain hanya merupakan manupilasi teks untuk memberikan legitimasi aturan-aturan yang diundangkan pemerintah. Agama dijadikan alat untuk mendiskreditkan semua oposisi dan politik sekaligus dijadikan alat tafsir spiritual atas kegagalan negara. Hasilnya adalah terbentuknya kelas baru dengan elit penguasa di puncak dan tumbuhnya feodalisme baru di pedesaan dan kapitalisme baru di sektor swasta.
Kegagalan ideologi-ideologi modern di atas disebabkan tidak adanya akar kerakyatan yang kuat dan ketercerabutannya dari basis sosial. Istilah-istilah yang digunakan dalam gerakan tersebut sama sekali tidak melembaga dalam hati rakyat. Sebut saja, misalnya, materialisme dialektis, kontradiksi, produksi, kebebasan, dan hak-hak politik. Semua ini merupakan kategori-kategori sosial yang tidak dapat dipahami dan dicerna oleh masyarakat. Akibatnya, ia mengalami kegagalan dalam menggerakkan dan memberi perspektif baru bagi rakyat. Barangkali juga, terminologi ini menjadi inspirasi bagi ilmu-ilmu sosial di dunia Timur yang pada tahun 1970-an masih disibukkan dengan perdebatan perlu tidaknya indegenisasi (pribumisasi).
Sifat keilmiahan sebuah ideologi jelas berbeda dengan sifat kerakyatan sebuah agama. Sehingga diskursus ideologi kaum intelektual boleh saja tetap berlangsung, dan elit intelektual revolusioner boleh juga membentuk kepemimpinan berbasis massa. Namun harus diingat bahwa dalam masyarakat mistis, ideologi ilmiah merupakan sesuatu yang hampir pasti mustahil. Sedangkan ritualisme kesukuan, atau yang oleh Hanafi disebut sebagai fundamentalisme, telah terperosok dalam ritualisme tanpa makna, tanpa aspek ekonomi, politik dan sosial. Keduanya memiliki kelemahan yang sangat mendasar, yaitu keluar dari mainstream historisitas kemanusiaan. Dengan demikian, bangunan epistemologi yang hendak dirumuskan oleh Hanafi untuk merumuskan paradigma bagi gerakan pembebasan adalah penguatan pemahaman atau pengetahuan masyarakat atas kekayaan tradisi-tradisi Islam serta memberikan analisis sosial berperspektif Marxian.
Dampak positif dan negatif yang ditimbulkan akibat oksidentalisme
Berbicara plus dan minus akibat kajian oksidentalisme sama halnya dengan membicarakan peperangan antara kebaikan dan keburukan artinya, sudah menjadi sunnatullah di dunia ini sesuatu yang dianggap sempurna akan nampak kekurangannya, dalam kajian oksidentalisme ada kebaikan yang bisa diambil dan ada juga keburukan yang muncul.
Seorang oksidentalis yang benar menurut penulis, ialah yang tidak terlalu terpengarah dengan kemajuan peradaban barat dan lantas mengadopsi apa saja yang yang diproduksi oleh barat, boleh mengambil dan meniru barat tetapi harus memfilternya dengan landasan islam dan iman. Karena kalau tidak, akan menimbulkan semacam racun dalam masarakat timur khususnya ummat islam.
Islam yang universal, mengajarkan libralisme dalam berfikir, memfungsikan akal sebagai anugerah fitrah tetapi dibatasi oleh dua pokok pondasi dasar yaitu Al-qur’an dan Assunnah, seagaimana ungkapan yang sering kita dengar “ kamu punya kebebasan tetapi kebebasanmu dibatasi oleh kebebasan orang lain”, bersebrangan dengan libralisme yang didengung-dengungkan dan dianut oleh barat, yaitu libralisme tanpa batas, dan ini danger!!.
Akhirnya, oksidentalisme idealnya diharapkan mampu membentuk sosok bangsa Timur yang mengenal dirinya, mengenal agamanya, tradisi intelektual secara mendalam dan menyeluruh. Bahkan kalau bisa dapat menghadirkan rasa self confident atau --dengan bahasa gaulnya--“pe de” dengan cara melawan pembaratan dengan cara-cara rasional dan ilmiah. Saat ini harus diakui bahwa hegemoni politik, ekonomi, dan budaya sudah di tangan mereka. Dalam bidang intelektual, mereka juga berhasil menciptakan anggapan bahwa otoritas ada pada mereka dan salah satu langkah konkritnya adalah pemperdalam pengetahuan orang Islam tentang sejarah Islam, sejarah al-Qur’an, sejarah hadits dan hukum Islam, di samping --yang tak kalah perlunya-- mempelajari sejarah Kristen dan Yahudi. Semua ini harus dilakukan karena mereka faham sejarah Islam sedangkan umat Islam mayoritas buta sejarah mereka, sehingga tidak heran jika umat Islam akan gamang ketika mereka mengatakan “What you know, we know. What we know you don’n kwow” artinya “apa yang anda tahu, kami juga tahu. Apa yang kami tahu, anda tidak tahu”.
Sudah saatnya umat Islam percaya diri untuk menggali khazanah sendiri yang bersumber dari kalangan sendiri yang begitu kaya dan tak terpermanai jumlahnya, tanpa harus terhanyut oleh pesona khazanah “import” yang datang dari luar Islam yang dapat meracuni umat dan membawa umat jauh dari akar ke-Islamannya. Seraya pula berupaya untuk terus jadi orang yang dengan yakin mengatakan kepada mereka para “importir” tersebut  “lakum dinukum wa liya din.”
dari berbagai sumber.


1 komentar:

  1. makasih yaa,sangat membantu..
    tapi tulisannya sulit di baca..

    BalasHapus