Laman

Jumat, 09 Desember 2011

Resume Filsafat Ilmu


FILSAFAT ILMU


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Abdul Jalil, S.Ag, M.EI

                                               
                       






                                                               




                                           
                                                           
                                                            Disusun Oleh:

                                                Ahmad Zaini               : 210235
                                                           




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
SYARI`AH /EKONOMI ISLAM
2011/2012






Yang Ada (Being)

Istilah ‘yang ada’ memiliki bermacam makna. Sebagian orang menjumbuhkanya dengan dua istilah yang lain- esensi dan eksistensi. Sesuatu apapun halnya bersifat ‘yang ada’.
Sesuatu yang bereksistensi, misalnya bangku, pertama-tama harus memilki sifat ada sebelum dapat bereksistensi. Predikat ‘yang ada’ memberi batasan kepada suatu himpunan (class) sedemikian rupa sehingga segala sesuatu, baik nyata maupun dalam angan-angan, termasuk di dalam himpunan tersebut. Dengan kata lain, ‘yang ada’ itu merupakan predikat yang paling umum serta paling sederhana  diantara semua predikat. ‘yang ada’ merupakan predikat universal, dalam arti bahwa ‘yang ada’ merupakan predikat dari setiap satuan yang mungkin ada.[1]

A.    Filsafat ilmu
Kata “ilmu” dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa arab ilm yang merupakan kata jadian dari ‘alima yang berarti “tahu” atau “mengetahui”.
Ilmu berfungsi sebagai alat bantu manusia dalam mengatasi masalah sehari-hari. Pada dasarnya semua ilmu bertujuan untuk menemukan hukum, norma, dan kaidah yang berlaku umum untuk semua, disamping kekecualian dan kekhasan serta perbedaan yang ada pada setiap obyek yang diamatinya.
Filsafat berasal dari bahasa yunani, yaitu gabungan dari kata philo yang artinya cinta, suka dan shopia yang berarti kebijaksanaan, hikmah (wisdow), atau pengetahuan yang mendalam.
Menurut istilah, filsafat adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal untuk mengetahui tentang hakikat sesuatu yang ada.
Filsafat ilmu adalah filsafat, bukan metode atau metodologi yang berusaha terus-menerus untuk memperoleh pandangan yang mendasar tentang ilmu, akan tetapi filsafat yang memenuhi cerminan atau gambaran yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu, yang mendasar dan kebenaran yang melekat di dalam ilmu, yang pada instansi terakhirnya memberi jawaban pada kebenaran ilmu.
Filsafat ilmu diharapkan mampu memberikan landasan filosofi dan untuk memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmu sampai nantinya mampu membangun teori ilmiah.

Obyek filsafat ilmu
Ada dua yang substantif dan ada dua yang instrumentatif. Dua yang substantif adalah kenyataan dan kebenaran, sedangkan dua yang instrumentatif adalah konfirmasi dan logika inferensi.
1.      Kenyataan atau fakta
Adalah empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Sesuatu sebagai nyata bagi positivisme bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan yang lain. Data empiris sensual harus obyektif tidak boleh masuk sebyektifitas peneliti empiri pada realisme, bukan sekedar empiri sensual yang mungkin palsu yang mungkin memiliki makna lebih dalam seragam. Empiri pada realisme memang mengenai hal yang real, dan memang secara subtantif ada empiri yang subtantif real baru dinyatakan ada bila ada koherensi yang obyektif universal.
2.      Kebenaran
3.      Konfirmasi
4.      Logika inferensi
Logika pragmatic dapat digunakan seni berfikir secara teratur, logis dan teliti yang diawali dengan tesis, anti tesis dan sintesis, yang berupayamemadukan ide, value dalam tindakan fungsional operasional.

B.     Posisi Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Struktur Ilmu Islam
1.      Posisi Al-Qur’an dalam Ilmu Islam
Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai rumusan teori, dalam hal ini Al-Qur’an dijadikan sebagai paradigma. Paradigma Al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya.
Al-Qur’an mengintroduksi dirinya sebagai petunjuk kepada jalan yang lurus. Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia. Rasulullah dalam hal ini bertindak sebagai penerima Al-Qur’an bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut.
Al-Qur’an sebagai dasar dari ilmu islam yang bersifat universal tidak serta merta memberikan semua yang dibutuhkan dalam ilmu tersebut, tetapi juga disempurnakan  dengan keberadaan Sunnah yang merupakan warisan dari Rasul.
2.      Posisi As-Sunnah dalam Ilmu Islam
Mayoritas dari hukum-hukum Al-Qur’an bersifat global, tidak terinci atau terbatas pada penjelasan dasar-dasar  umum dari kaidah-kaidah yang menyeluruh. Oleh karena itu, Al-Qur’an memerlukan penjelasan, dia sangat butuh terhadap Sunnah Nabi SAW.
Para ulama menyatakan bahwa kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penjelas. Juga para ulama memandang As-Sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an.
Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an:
a.       Sebagai penguat terhadap hukum syara’ yang terdapat dalam Al-Qur’an
b.      Menjelaskan globalitas dan menafsirkan hukum-hukum syara’.
c.       Membangun sandaran hukum baru yang tidak disebut dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai sumber dari segala hukum islam memuat prinsip-prinsip dasar ajaran agama Islam. Sebagian ayatnya yang merupakan contoh dan petunjuk bahwa isi kandungan Al-Qur’an masih perlu penjelasan.
Keglobalan Al-Qur’an tidak dapat diurai kecuali melalui Sunnah Rasul. Kalau tidak As-Sunnah, maka Islam dan syari’atnya hanya merupakan rumus, kaidah-kaidah, dasar-dasar, seperangkat kisah dan kabar, kalimat yang memukau, akhlak dan hukum-hukum minim. Maka, dengan As-Sunnah dan ide-idenya yang nyata serta perannya dalam menjelaskan metode keislaman.
3.      Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam
Dari dulu hingga sekarang, umat Islam telah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah Kitabullah yang kekal, tidak terbatas pada dimensi ruang dan waktu, dan tidak ada sedikitpun keraguan.
Masalah yang muncul kemudian, berangkat dari kekalnya Al-Qur’an Al-Karim, berarti juga disisi lain kekal juga apa yang dinamakan kesulitan atau masalah yang dihadapi manusia. Al-Qur’an tetap abadi berfungsi sebagai pemecah masalah, sekalipun berbeda bentuk dan coraknya. Artinya, dari kekalnya Al-Qur’an, manusia juga dituntut untuk menjadikanya sebagai jalan keluar atau pemecahan yang kekal juga, apapun masalahnya.
Penerimaan Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam dan As-Sunnah sebagai sumber hukum pula, menuntut kejelasan tentang hubungan dan fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an. Oleh para ulama’ dikategorikan dalam tiga kapasitas sebagai berikut:
a.       As-Sunnah dapat berupa ketentuan-ketentuan yang hanya mengkonfirmasi dan mengulangi pernyataan Al-Qur’an sedangkan As-Sunnah hanya memperkuatnya, disebut Bayan Ta’kid.
b.      As-Sunnah dapat berupa penjelasan atau klarifikasi pernyataan-pernyataan yang mutlak/ menspesifikasikan tema-tema yang ‘amm, disebut bayan tafsir.
c.       As-Sunnah dapat berupa ketentuan-ketentuan yang tidak disinggung dalam Al-Qur’an. Ia tidak mengkonfirmasikan ataupun menyangkal Al-Qur’an, dan isinya tidak bisa diruntut pada ketentuan eksplisit Al-Qur’an, sehingga ia merupakan sumber otoritatif yang independen.
4.      Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber segala ilmu
Di dalam Al-Qur’an terdapat beratus-ratus ayat yang menyebut tentang ilmu dan pengetahuan. Di dalam sebagian besar ayat itu disebutkan kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu.
Dalam surat Al-Mujadilah ayat 11:
Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman dan mempunyai limu.”
Dan dalam hadit-hadits Rasulullah SAW dan para imam Ahlul Bait yang kedudukannya mengiringi  Al-Qur’an terdapat dalil-dalil yang tidak terhitung banyaknya tentang anjuran mencari ilmu, arti penting dan kemuliaannya.
Secara khusus, Al-Qur’an mengajak untuk mempelajari ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra dan semua ilmu penegetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia.
Al-Qur’an mengisyaratkan berbagai macam disiplin ilmu yang belum ada waktu Al-Qur’an sendiri diturunkan, tapi juga yang akan muncul.
Sedang As-Sunnah, Nabi SAW sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Beliau juga menyarankan tidak hanya mendalami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama (akhirat) saja tapi juga yang terikat dengan ilmu-ilmu dunia umum. Ini dibuktikan dengan anjuran beliau “ carila ilmu sampai di negeri china”.
Al-Ghazali mengatakan bahwa:” segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian, baik yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-qur’an al-karim.”

C.    Metodologi ilmu
Metode berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu “metha” yang berarti melalui, dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.
Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani dari kata “metodos” berarti cara atau jalan, dan “logos” yang berarti ilmu. Metodologi yang berarti ilmu tentang jalan atau cara.
Tugas dan fungsi metodologi adalah memberikan jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan dari ilmu islam tersebut.

D.    Struktur ilmu
1.      Ontologi
Ontologi berasal dari dua  kata on dan logi artinya ilmu tentang ada. Ontologi adalah teori tentang ada dan realitas. Ontologi (ilmu hakekat) merupakan bagian dari metafisika.
Jadi, ontologi adalah bagian dari metafisika yang mempelajari hakekat dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan atau dengan kata lain menjawab tentang pertanyaan apakah hakekat ilmu itu. Apa yang dapat kita alami dan amati secara langsung adalah fakta, sehingga fakta ini disebut fakta empiris, meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancra indera.
Secara ontologisme ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada pada jangkauan pengalaman manusia, dengan demikian obyek penelaahan yang berada dalam daerah pra pengalaman (seperti penciptaan manusia atau pasca pengalaman (seperti hidup sesudah mati) tidak pembahasan.
Ontologi meliputi permasalahan apa hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inhern dengan pengetahuan yang tidak terlepas dari persepsi kita tentang apa dan bagaimana ilmu itu.
Dasar utama dalam kajian ontologi ini adalah apa yang ada, dimana yang ada dan apa kebenaran itu.[2]
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal. Ontologi mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.[3]
Persoalan “what is being? (apa yang ada?). Memberikan jawaban yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan mereka.
a.       Monoisme, yang ada hanya satu dan yang satu itu serba spirit dan idea maka melahirkan aliran spiritualisme dan idealisme.
b.      Dualisme, yang ada serba dua, misalnya jiwa dan raga, maka lahirlah aliran eksistensialisme.
c.       Pluralisme, yang ada terdiri dari banyak unsur.
d.      Yang ada adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui, maka lahir aliran agnotisme.
Aliran-aliran dalam teori hakekat (ontologi):
1.      Materialisme / naturalisme
Aliran ini menyatakan bahwa hakikat benda adalah materi. Benda itu sendiri rohani, jiwa spirit dari benda. Bahkan aliran ini menganggap ruh, jiwa dan spiritual diakui adanya termasuk juga tuhan.
2.      Idealisme
Hakekat benda adalah rohani, jiwa, spirit.
3.      Dualisme
Hakekat benda ada dua, yaitu material dan immaterial. Misal, benda dan ruh, jasad dan spirit.
4.      Agnostisme
Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakekat suatu benda.
2.      Epistimologi
Epistimologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.
Epistimologi berasal dari kata yunani episteme dan logos,episteme artinya pengetahuan atau kebenaran dan logos artinya pikiran atau kata atau teori. Sedangkan epistimologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar, dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan.[4]
Beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indera penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. manusia sering kali salah dalam berpikir. bukti yang paling jelas adalah bahwa diantara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indera tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. oleh karena itu, mesti ada cara agar akal dan indera tidak bersalah.[5]
Aliran-aliran dalam epistimologi
a.       Empirisme
Kata empirisme berasal dari kata yunani empirikos yang berasal dari empiria artinya pengalaman. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Contoh, gula manis karena mencicipinya.
b.      Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengalaman yang besar diperoleh dan diukur dengan akal manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap obyek.
c.       Positivisme
Filsafat positivisme disebut juga faham empirisme kritis, ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
d.      Intusionalismeini
Aliran ini menganggap bahwa tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh.
e.       Illuminasionalisme
Aliran ini mirip dengan intuisonisme. Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan yang di dalam islam disebut suluk,  secara lebih spesifik disebut riyadah.[6]
3.      Aksiologi
Secara etimologi aksiologi berasal dari kata axios yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu.[7]
Teori tentang nilai dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Nilai etika
Etika ialah teori perbuatan manusia, yaitu ditimbang menurut baik dan buruknya. Obyek formal etika adalah norma-norma kesusilaan atau nilai-nilai kesusilaan manusia dan dapat dikabarkan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif  yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.
2.      Nilai estetika
Nilai estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni atau kesenian.
Jadi, aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.

E.     Bayani, burhani dan irfani
1.      Bayani
Al-Bayani merupakan pola pemikiran dan pola penalaran yang menguasai, mendominasi dan bersifat hegemonitik dalam tradisi keilmuan islam.
Dalil Al- Bayani menghasilkan al-‘ilm al-tuqifii. Pokok bahasan al-‘ilm al-tauqifi adalah teks atau naskah yang berisi wahyu Allah SWT.
Bayani adalah metode pemikiran yang menekankan otoritas teks (nash) secara langsung atau tidak dan dijustifikasi lewat akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan yang sudah jadi langsung diaplikasikan tanpa pemikiran. Dalam tradisi bayani, rasio atau akal tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.
Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik epistimologi bayani adalah aspek eksoterik (syari’at). Oleh karena itu, suber pengetahuan bayani adalah teks (nash). Dalam ushul fiqih yang dimaksud teks sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2.      Burhani
Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional.
Sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi.  Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur[8] dan tasdiq[9].
Epistimologi burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan, ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani sebagai al-ilm busuli, yaitu ilmu yang di konsep, disusun dan di sistematiskan lewat premis-premis logika atau al-mantiqi, atau lewat otoritas teks atau salaf, dan tidak pula lewat otoritas intuisi.
3.      Irfani
Kata irfan (gnose/gnosis) adalah bentuk masdar dari ‘arafa yang berarti pengetahuan, ilm dan al-hikmah. Pengetahuan eksoterik adalah pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazar, dan burhan, sedangkan pengetahuan irfan (pengetahuan eksoterik) adalah pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham dan ‘iyan (persepsi langsung). Irfani bersumber pada intuisi.

F.     Empiri
1.      Empiri transendental
Term empiri menunjukan pada produk pengalaman manusia, ketika melaksanakan ajaran agama filsafat empirisme. Sebagai suatu aliran filsafat yang mulai tumbuh di barat, empirisme menerima pengalaman kemanusiaan yang berbeda dalam lingkup kemampuan indrawi maupun pengalaman diluarnya. Oleh karena itu, aliran ini mengakui adanya pengalaman keberagaman dan terkait dengan dunia transendental yang sifatnya adi kodrati dan supra insani.
2.      Empiri indrawi
Pengetahuan indrawi yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan atas sense (indra) atau pengalaman manusia setiap hari.
3.      Empiri rasional
Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya akal dan ide. Bagi plato, ide atau akal adalah alam yang sesungguhnya dan bersifat tetap, serta tidak berubah-ubah. 
Aliran filsafat rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu dekat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Rasionalisme mendasarkan dan membangun ilmunya dengan logika deduktif dan mendasarkan kebenaran pada kemampuan cerdas manusia mengkontruksi teori.
4.      Empiri intuitif
Pengetahuan intuitif secara epistimologi berasal dari intuisi. Menurut henry bergson, intuisi adalah semacam intelek yang lebih tinggi yang mampu memahami apa yang tidak mampu dipahami oleh akal. Intuisi diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai obyek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakekat barang sesuatu.
Intuisi, naluri merupakan pengalaman manusia yang bersifat transendental dan kebenarannya bersifat truth.

G.    Ilmu teoritis
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata “sciences” artinya to know. Menurut ensiklopedia indonesia, ilmu adalah suatu sistem berbagai ilmu pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu. Hingga menjadi kesatuan, suatu sistem berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi).
Teori dalam kamus ilmiah populer, teori adalah ajaran tentang kaidah-kaidah dasar dan asas-asas daripada ilmu pengetahuan.
Teori digunakan oleh para praktisi pendidikan untuk menunjukan hipotesis-hipotesis tertentu dalam rangka membuktikan kebenarannya melalui eksperimentasi dan observasi serta berfungsi menjelaskan pokok bahasanya maka ini sama dengan pengertian dibidang ilmiah.
Ilmu teoritis merupakan ilmu pengetahuan yang memuat ajaran tentang kaidah-kaidah dasar dan asas-asas yang belum dilaksanakan sebagai tindakan praktis/perilaku seseorang. Bisa dikatakan ilmu ini hanya ada di dataran normatif sebagai pengetahuan seseorang tentang beberapa hal yang ada.
Ilmu teoritis yang syarat akan norma-norma sejalan dengan paradigma bayani yang begitu terikat dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga ia tidak bisa menghindar  sedikitpun dari teks.
Tujuan dari ilmu teoritis adalah untuk memperoleh atau mengubah pengetahuan, yang terdiri dari ilmu formal dan ilmu empiris.ilmu formal ini kemudian menghasilkan struktur murni sedangkan ilmu empiris merupakan hasil interpretasi terhadap ilmu formal yang diproyeksikan pada aspek tertentu dari dunia kenyataan.
Fungsi dari teori adalah untuk menjelaskan hukum ilmiah. Oleh karena itu antara hukum dengan teori terdapat kaitan yang sangat erat. Namun terdapat perbedaan yang besar antara keduanya.
Teori merupakan  pandangan umum yang sulit diperiksa langsung secara empiris. Teori teuteme dimaksudkan sebagai himpunan pengetahuan yang meliputi banyak kenyataan dan hukum yang sudah diketahui dan diperiksa berdasarkan kenyataan empiris.[10]




DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, Integrasi Keilmuwan, Jakarta, PPJM dan UIN Jakarta Press, 1989
Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, STAIN KUDUS, Kudus, 2008
J. Sudarminto, Epistimologi dasar, Karisius IKAPI, Yogyakarta, 2002
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1986
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Edisi II, Rakesarin, Yogyakarta, 2001



[1] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1986, hal. 47-48
[2] Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, STAIN KUDUS, Kudus, 2008, hal. 7-66
[3] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Edisi II, Rakesarin, Yogyakarta, 2001, hal. 57
[4] Fathul Mufid, Op.Cit., hal. 70
[5] J. Sudarminto, Epistimologi dasar, Karisius IKAPI, Yogyakarta, 2002, hal. 20
[6] Fathul Mufid, Op. Cit., hal. 72-74
[7] Azyumardi Azra, Integrasi Keilmuwan, Jakarta, PPJM dan UIN Jakarta Press, 1989, hal. 90
[8] tasawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera
[9] tasdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut
[10] Fathul Mufid, Op. Cit, hal. 82-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar