Laman

Jumat, 09 Desember 2011

Pemikiran Kalam Al-Baqillani- Ilmu Kalam


PEMIKIRAN KALAM AL-BAQILLANI

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Amirus Sodiq, Lc, MA

                                                                     
                       







Disusun Oleh:
Ahmad Zaini
210235
                                                         


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
SYARI`AH /EKONOMI ISLAM
2011

PEMIKIRAN KALAM AL-BAQILLANI
I.                   PENDAHULUAN
Ilmu kalam adalah ilmu yang mampu membuktikan kebenaran akidah Islam dan menghilangkan kebimbangan dengan mengemukakan hujjah atau argumentasi.
Menurut Al-Baqillani, ilmu Tauhid mengajarkan perbedaan antara yang qadim dengan yang muhdats. Oleh karena tidak satu pun yang menyerupai diri-Nya mestilah Allah qadim, azali, dan wujud-Nya tidak mempunyai permulaan, selama-lamanya tidak berakhir. Jika tidak qadim berarti ia muhdats. Jika ia muhdats berarti ia membutuhkan pencipta yang menciptakan-Nya. Dengan demikian, setiap pencipta membutuhkan pencipta yang lain. Demikian terus-menerus tanpa akhir. Pendapat seperti itu tidak benar, sebab hanya ada satu pencipta, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu benarlah bahwa Ia qadim.
Bertitik tolak dari keterangan di atas, maka ilmu Kalam pada mulanya bertujuan untuk mengantisipasi pengaruh ide-ide luar yang dapat merusak akidah umat Islam karena perubahan lingkungan, tatkala meluasnya wilayah Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Dalam perkembangannya, ilmu Kalam memasuki persoalan-persoalan yang bersifat filosofis sehingga timbullah arus rasionalisme dalam Islam. Bebarengan dengan itu, Ilmu Kalam berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Al-Baqillani merupakan tokoh kedua di dalam aliran teologi Asy’ariyah setelah Al-Asy’ari. Sebagaimana Al-Asy’ari, pemikiran kalam yang dikemukakannya berkisar pada masalah-masalah yang berkaitan dengan Tuhan dan manusia yang meliputi sifat-sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, perbuatan manusia, fungsi akal dan wahyu, janji dan ancaman Tuhan, konsep iman dan hari akhirat.
Al-Baqillani terkenal sebagai pencipta sistem occasionalisme muslim, yaitu sebagai paham yang mengajarkan bahwa yang terjadi di dunia ini tidak lebih dari alamat atau tanda saja dari penciptaan oleh Tuhan. Peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain dari pada tanda penciptaan langsung oleh Tuhan. Setiap sesuatu terjadi oleh campur tangan Tuhan.
Al-Baqillani tidak sepenuhnya sepaham dengan Al-Asy’ari terutama dalam soal perbuatan manusia dan sifat-sifat Tuhan. Menurutnya dalam pandangan Al-Baqillani manusia masih mempunyai kebebasan dalam kehendak dan perbuatannya. begitu pula sifat-sifat Tuhan, bagi Al-Baqillani sifat adalah hal.[1]

II.                PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup
Nama aslinya al-Qadr Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn al-Qasim Abu Bakar al-Baqillani. Ia lahir di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang menjelaskan tanggal dan tahun kelahirannya. Oleh karena ia hidup bertepatan dengan masa pemerintahan ‘Adud al-Daulat al-Buwaihi (w. 372), maka diperkirakan ia lahir setelah paroh kedua abad keempat Hijriyah.
Semasa hidupnya al-Baqillani dikenal sebagai seorang yang bermadzhab Maliki. Ia mempunyai beberapa orang murid, diantaranya ialah Abu Muhammad ‘Abd al-Wahhab ibn Nasr al- Maliki, ‘Ali ibn Muhammad al-Harbi, Abu ‘Umar ibn Said  dan Abu Imran al-Fasi.
Al-Baqillani wafat pada hari Sabtu, tanggal 21 Zulqa’idah 403 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1913 Masehi. Jenazahnya disahalatkan oleh anaknya al-Hasan dan dikebumikan di daerah Majusi. Kemudian dipindahkan ke pemakaman korban perang.[2]
B.     Karya-Karya Al-Baqillani
Al-Baqillani banyak meniggalkan tulisan. diantara karya-karyanya yang masih dapat ditemukan sampai sekarang antara lain:
1.      I’jaz Al-Qur’an
Tersimpan di museum Inggris. Kitab tersebut juga diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Misriyyat, Kairo, sebanyak dua kali, dan pernah juga diterbitkan di Berlin pada bulan Oktober 1436.
2.      Al-Tahmid
Tersimpan di Ayashofia Istambul dan museum Paris.[3]
C.    Berbagai Persoalan Tentang Tuhan
1.      Sifat-Sifat Tuhan
Al-Asy’ari berpandangan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti ‘ilmu, hayyat, sama’, dan basr. Sifat-sifat tersebut bukanlah zat-Nya. Menurutnya Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan demikian teratur tidak tercipta kecuali diciptakan oleh Tuhan yang mempunyai ilmu. Demikian pula, menurutnya Allah mempunyai qudrat, hayat, dan sebagainya. Dalam memperkuat pendapatnya ia mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya:
“Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya.”(Qs. 4:106)
Menurut Al-Asy’ari ayat-ayat diatas menunjukan bahwa Allah mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Allah zat-Nya. jika Allah mengetahui dengan zat-Nya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Mustahil al-’ilm (pengetahuan) merupakan ‘alim (Yang Mengetahui), atau al-‘alim (Yang Mengetahui) merupakan al-‘alim (pengetahuan), atau zat Allah diartikan sebagai sifat-sifat. Oleh karena mustahil Allah merupakan pengetahuan, maka mustahil pula Allah mengetahui dengan zat-Nya sendiri.
Dengan demikian, menurut al-Asy’ari Allah mengetahui dengan ilmu. Ilmu-Nya bukanlah zat-Nya.demikian pula dengan sifat-sifat lainnya seperti hayat, qudrat, sama , basr, dan semua sifat-sifat-Nya.
Berbeda dengan pendapat kaum Mu’tazilah yang memandang sifat-sifat Tuhan sebagai zat-Nya sebagai disebut oleh Abu Huzail, bahwa Allah mengetahui dengan ilmu dan ilmu-Nya adalah zat-Nya. Ia berkuasa dengan qudrat dan qudrat-Nya adalah zat-Nya. Allah hidup dengan hayat dan hayat-Nya adalah zat-Nya.
Al-Asy’ari selanjutnya mengatakan, bahwa Allah mempunyai wajah, tagan, dan mata yang tidak akan hancur.
Berkaitan dengan masalah di atas, Al-Baqilani mengatakan Allah mempunyai wajah dan tangan sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai ayat alqur’an, seperti “ Dan kekal zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
Al-Baqillani mengatakan bahwa sifat bukanlah hal tetapi sesuatu yang maujud. Ia menolak mengatakan sifat Allah hal tampaknya adalah jika yang dimaksud dengan hal itu sebagai suatu yang berubah-ubah. Tampaknya ia setuju dengan kaum Mu’tazilah begitu Abu Hasyim menyebut sifat sebagai hal bertujuan untuk menetapkan keesaan dan keqadiman Allah.
Selanjutnya Al-Baqillani mengatakan bahwa sifat terdapat pada zat. Tidak ada perbedaan diantara ahli bahasa, bahwa sifat adalah yang menempel pada nama-nama.
Sifat-sifat Tuhan dalam pandangan Al-Baqillani bukanlah sesuatu yang berada di luar zat-Nya atau sesuatu yang menempel pada zat-Nya. Sifat disamakanya dengan nama sehingga tidak membawa pengertian yang merusak keesaan Tuhan.
Al-Baqillnai karena memandang sifat-sifat Tuhan adalah zat-Nya, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri diluar zat-Nya, maka pendapatnya terhindar dari kesan adanya beberapa yang qadim selain Tuhan. Dengan demikian, dalam masalah sifat-sifat Tuhan Al-Baqillani berbeda dengan Al-Asy’ari dan dekat kepada Mu’tazilah.[4]
2.      Keadilan Tuhan
Paham keadilan Tuhan banyak tergantung pada paham kebebasan manusia dan paham kekuasaan mutlak Tuhan.[5]
Persoalan keadilan Tuhan berkaitan dengan perbuatan-Nya. Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa Tuhan dikatakan tidak adil karena semua perbuatanya baik. Ia wajib berbuat baik, tidak berbuat yang buruk dan tidak mengambil hak orang lain.[6] hal tersebut karena kaum Mu’tazilah percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia. Memang dalam paham Mu’tazilah semua makhluk lainya diciptakan untuk manusia sebagai makhluk tertinggi, dan oleh karena itu mereka kecenderungan untuk melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia.[7]
Al-Asy’ari berpegang teguh pada konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Ia berpandangan, bahwa Allah yang menjadikan orang berbuat baik maupun jahat, beriman atau kafir. dengan kata lain Allah berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.
Menurut Al-Baqillani, Allah memakmurkan orang yang dicintai-Nya dan melindungi orang yang mentaati-Nya. Ia tidak memberi pertolongan terhadap pelaku maksiat. Ia memberikan kebaikan, keburukan, keuntungan, kerugian, kekayaan, kemiskinan dan kesehatan kepada semua hamba-Nya sebagai keadilan-Nya.
Dalam masalah pahala dan siksa, Al-Baqillani masih terikat pada konsep kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Al-Baqillani mengatakan bahwa semua yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang memandang Allah hanya menghendaki ketaatan dan keimanan, sementara kufur dan maksiat terjadi bukan atas kehendak-Nya.
Bagi Al-Baqillani keadilan Tuhan tidak diukur berdasarkan kepentingan manusia. Semua perbuatanya adalah keadilan-Nya. Baginya Tuhan tidak lazim dalam menghukum orang yang berbuat jahat karena meskipun perbuatan jahat, seperti kufur dan syirik, atas kehendak-Nya tetapi perbuatan-perbuatan jahat tersebut tidak disukai-Nya dan tidak memberikan perintah untuk melakukanya. Berbeda dengan Al-Asy’ari dalam memahami keadilan Tuhan. Al-Asy’ari menemukan jalan buntu karena ia hanya berpegang pada konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, sehingga pandanganya tentang keadilan Tuhan membawa kesan bahwa Allah zalim dalam menghukum orang yang berbuat jahat.[8]
3.      Melihat Tuhan
Mayoritas kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan mata (al-absar) di Akhirat, tetapi hanya akan diketahui lewat hati.
Al-Asy’ari dan Al-Baqillani sependapat bahwa Allah dapat dilihat dengan mata kepala. Oleh karena itu, mereka menolak pandangan Mu’tazilah di atas karena menurut mereka pandangan tersebut bertentangan dengan ayat “ wajah orang-orang mukmin pada hari itu berseri-berseri. kepda tuhannyalah mereka melihat.” (Qs. 75: 22-23)[9]
4.      Kalam Tuhan
Menurut kaum Mu’tazilah hakikat kalam atau perkataan adalah huruf yang tersusun dan suara yang putus-putus yang diucapkan dengan lisan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah itu berkata-kata (mutakallim) tetapi tidak dengan kalam yang qadim. Dia berkata-kata dengan kalam yang baharu (muhdats) yang diciptakan-Nya ketika Dia berkata-kata.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa kalam Allah itu makhluk, muhdats, kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa Al-Quran sebagai kalam dan wahyu-Nya adalah makhluk.
Berbeda dengan pandangan Mu’tazilah, Al-Asy’ari maupun Al-Baqillani sependapat bahwa Al-Quran bukan makhluk.
Selanjutnya, dapat dikemukakan bahwa al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat dengan memandang kalam Allah sebagai sifat bagi-Nya. Tetapi sebagaimana dalam masalah sifat-sifat Allah yang telah dikemukakan terdahulu, tentu antara al-Asy’ari dengan al-Baqillani ada perbedaan. Bagi al-Asy’ari kalam merupakan sifat yang berdiri sendiri, sementara  bagi al-Baqillani kalam Allah adalah sifat bagi zat-Nya ada karena zat-Nya, bukan karena yang lain. Namun demikian, baik al-Asy’ari maupun al-Baqillani mengatakan bahwa secara hakiki kalam Allah itu adalah apa yang dapat dihafal dalam hati, diucapkan dan dibaca dengan lisan, ditulis di dalam kitab bukan dalam arti kiasan, dan bukan merupakan hal yang terjadi pada suatu selain Tuhan karena jika merupakan hal yang terjadi pada selain-Nya berarti Dia tidak berkata-kata, tidak memerintah, tidak melarang, dan tidak memberi penjelasan dengan kalam-Nya.[10]

D.    Manusia dan Kehidupan Akhirat
1.      Perbuatan Manusia
Kebebasan dan ikhtiar manusia dalam berbuat dan bertindak merupakan perdebatan yang panjang dalam bidang teologi. Kebesaran dan keagungan Allah sudah pasti diyakini oleh setiap muslim, namun sejauh manakah kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan umat manusia. Aliran-aliran teologi dalam Islam masih mempertanyakan hal tersebut, benarkah manusia punya hak untuk memilih dan menentukan perbuatanya sendiri, ataukah manusia hanya mengikuti Tuhan.[11]
Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia menciptakan sendiri perbuatanya, karena apabila Tuhan yang menciptakanya manusia tidak berhak memperoleh pahala dan siksa. Disamping itu, apabila semua perbuatan manusia terjadi berdasarkan qada’ dan qadar Tuhan, berarti Dia meridhoi orang kafir menjadi kafir.
Kaum Asy’ariyah menolak pandangan kaum Mu’tazilah diatas, sebab menurut al-Asy’ari yang demikian bertentangan dengan ayat “ Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki (Qs 11:107). Tampaknya bagi al-Asy’ari manusia tidak mempunyai pilihan di dalam perbuatanya karena semua yang dilakukan manusia berdasarkan ketentuan Tuhan. Baginya Tuhan merupakan pencipta perbuatan manusia.
Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut al-Baqillani ada perbuatan yang terjadi berdasarkan pilihan manusia, dan ada perbuatan yang manusia terpaksa melakukanya.
Pandangan diatas menunjukan bahwa al-Baqillani telah pergi lebih jauh dari al-Asy’ari, baginya manusia mempunyai kebebasan di dalam perbuatanya. Sebaliknya menurut al-Asy’ari manusia tidak mempunyai kebebasan.[12]
Yang dimaksud Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia. Adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan, dan sebagainya. Gerak sebagai Genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri dan sebagainya yang merupakan spectes (new’). Dari gerak adalah perbuatan manusia dan Allah lah yang menciptakan itu, bagi Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi Al-Baqillani daya itu mepunyai efek.[13]
2.      Fungsi Akal dan Wahyu
Masalah kedudukan dan fungsi akal banyak dibicarakan dalam masalah teologi Islam. Kaum Mu’tazilah beranggapan bahwa semua pengetahuan dapat diperoleh melalui perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui melalui pemikiran yang mendalam. Selanjutnya kaum Mu’tazilah berpandangan, orang yang berakal sehat baik muda atau pun tua berkewajiban mengetahui Tuhan.
Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban sebelum turunya wahyu. Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Demikian pula pemberian pahala bagi orang yang taat dan pemberian siksa bagi yang berbuat maksiat adalah berdasarkan wahyu, bukan akal.
Al-Baqillani juga menolak pendapat Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa yang menentukan baik dan buruk adalah wahyu, bukan akal. Perbuatan dipandang baik jika diperintahkan Allah untuk melakukanya. Sebaliknya perbuatan dipandang buruk jika Ia melarang melakukanya. Akal manusia saja tidak dapat menentukan baik atau buruknya perbuatan.
Kaum Asy’ariyah sepakat, akal tidak mampu dapat menentukan setiap masalah yang berkaitan dengan pahala dan siksa karena yang demikian berhubungan dengan perintah dan larangan Tuhan. Tetapi dalam masalah-masalah yang tidak ada hubunganya dengan pahala dan siksa akal tetap berperan. Namun, karena pandangan tentang akal dan wahyu erat kaitanya dengan pandangan tentang perbuatan manusia tentu porsi yang diberikan kaum Asy’ariyah terhadap akal berbeda. Al-Asy’ari, karena tetap berpegang pada konsep kehendak dan kekuasaanya mutlak Tuhan, fungsi akal baginya sangat kecil.[14] Fungsi akal bagi al-Asy’ari diletakkan di belakang nash-nash agama yang tidak boleh berdiri sendiri, akal bukanlah hakim yang mengadili.[15] Tetapi bagi Al-Baqillani yang memandang manusia bebas dalam menentukan kehendak dan perbuatannya tentu dalam pandanganya fungsi akal sangat besar.[16]
3.      Janji dan Ancaman Tuhan
Kaum Mu’tzilah berpendapat bahwa janji dan ancaman Allah pasti tejadi. Dia wajib memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan wajib menyiksa orang yang berbuat dosa besar kelak di Akhirat jika tidak bertaubat.[17] Hal tersebut erat hubunganya dengan keadilan. Tuhan bersifat tidak adil jika Ia tidak menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik dan jika tidak menjalankan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang-orang yang jahat.
Bagi kaum Asy’ariyah, paham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan melakukan ancaman.[18]
Al-Asy’ari dan al-Baqillani membedakan antara syirik dan perbuatan-perbuatan maksiat lainya. Menurut mereka Allah mengampuni semua perbuatan maksiat kecuali syirik. Mereka memperkuat pendapat tersebut dengan mengemukakan ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 116:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang Dia kehendakinya.”
Berbeda dengan Mu’tazilah yang bertitik tolak dari pertimbangan akal, al-Asy’ari maupun al-Baqillani berpandangan bahwa perbuatan baik tidak wajib mendapat pahala dari Allah, dan orang yang berbuat maksiat tidak wajib menerima hukuman.
Selanjutnya al-Baqillani mengatakan bahwa pelaku dosa besar meskipun akan mendapat pengampunan dari Allah SWT. Di Akhirat namun mereka tetap menerima hukuman (hudud) di dunia, sebab hukuman di dunia bukanlah siksaan (‘iqab) tetapi hanya merupakan ujian dan berlaku bagi orang-orang yang bertaubat.
Dalam memahami janji dan ancaman Allah antara al-Asy’ari dan al-Baqillani tampaknya tidak ada perbedaan pendapat. Mereka sepakat bahwa mukmin pelaku dosa besar tetap sebagai mukmin dan hukumanya terserah kepada Allah. Allah bisa menghukumnya sesuai dengan kesalahannya dan bisa juga mengampuninya. Kemudian Allah memasukkannya ke dalam syurga dengan rahmat-Nya. Al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir.[19]
4.      Konsep Iman dan Hari Akhirat
Aliran-aliran pemikiran dalam Islam berbeda pendapat apakah iman itu pengetahuan atau pembenaran dalam hati saja, atau disertai dengan perbuatan. Aliran yang memandang iman itu hanya tasdiq tanpa amal membawa pengertian bahwa iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Sementara itu, aliran yang memasukkan perbuatan ke dalam iman membawa pengertian bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang.
Bagi kaum Mu’tazilah iman tidak sekedar menyatakan bahwa wahyu yang dibawa rasul benar (al-tasdiq). Mayoritas dari mereka berpandangan bahwa iman itu mencakup ketaatan lahir dan batin dengan mengerjakan semua yang wajib dan sunnah. Sebagian saja diantara mereka yang memandang bahwa iman itu hanya terbatas pada perbuatan yang wajib-wajib, seperti Abu Ali.
Sementara al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat bahwa iman adalah al-tasdiq bi allah, yaitu mengetahui dan membenarkan dalam hati bahwa Allah itu ada.
Pendapat Al-Baqillani mengatakan bahwa mukmin yang tidak berdosa tidak mendapat syafaat, menurutnya orang yang tidak berdosa tidak memerlukan syafaat. Syafaat diberikan kepada orang yang berdosa saja, yaitu pelaku dosa kecil dan pelaku dosa besar bagi yang bertaubat. Sementara kaum Mu’tazilah menolak adanya syafaat.
Dalam masalah iman dan hari Akhirat al-Asy’ari tidak berbeda pendapat dengan al-Baqillani. Mereka sama-sama memandang bahwa amal hanya cabang dari iman, karenanya amal tidak masuk dalam iman.[20]

III.             PENUTUP

Al-Baqillani hanya mengikuti al-Asy’ari dalam tiga masalah, yaitu masalah ru’yat Allah, janji dan ancaman Tuhan, dan masalah konsep iman dan hari Akhirat. Dengan demikian, al-Baqillani tidak mengikuti pendapat al-Asy’ari dalam lima masalah, yaitu masalah sifat-sifat Tuhan, keadilan Tuhan, kalam Tuhan, perbuatan manusia, dan masalah fungsi akal dan wahyu.[21]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asy’ari, Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, Erlangga, Jakarta, 2000
Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, STAIN Kudus, Kudus, 2009
Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1986
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1997
R.A Nicholson, Tasawuf Cinta, Mizan, Bandung, 2003
http://wikiberita.net/news/167435-tokoh-aliran-al-asy-ariah.html




[1] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1997, hal. 1-12

[2] Ibid., hal. 13-15
[3] Ibid., hal. 19
[4] Ibid., hal. 43-60
[5] R.A Nicholson, Tasawuf Cinta, Mizan, Bandung, 2003, hal. 123
[6] Ilhamuddin, Op Cit., hal. 60
[7]  R.A Nicholson, Op Cit., hal. 124
[8]  Ilhamuddin, Op Cit., hal. 66-72
             [9] Ibid., hal. 73
[10] Ibid., hal. 82-100
[11] Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, STAIN Kudus, Kudus, 2009, hal. 145
[12] Ilhamuddin, Op Cit., hal. 101-106
[13] http://wikiberita.net/news/167435-tokoh-aliran-al-asy-ariah.html
[14] Ibid., hal. 114-116
[15] Al-Asy’ari, Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, Erlangga, Jakarta, 2000, hal. 91
[16] Op Cit., hal. 117
[17] Ibid., hal. 118

[18] Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 123
[19] Op Cit., hal. 118-126
[20] Ibid., hal. 126-128
[21] Ibid., hal. 126-133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar