Laman

Rabu, 02 November 2011

pemikiran ekonomi al-syatibi


PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATIBI


Makalah
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : M. Arif Hakim, M.Ag



 












Disusun Oleh :

1.    Ahmad Zaini                           : 210235
2.    Muhammad Ismail                   : 210238
3.    M. Ibrahim Hasan                    : 210252


 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
SYARI’AH/EI
2011
PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATIBI

I.      Pendahuluan
Sejarah ekonomi Islam tidak muncul dan berkembang begitu saja. Melainkan melalui  bertahap-tahap. Sepanjang sejarah ekonomi Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonomnya sedemikian rupa, sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, filsuf, sosiolog, dan politikus. Sejumlah cendekiawan muslim terkemuka, sepaerti Abu Yusuf (w. 182 H), al-Syabani (w. 189 H), Abu Ubaid (w. 224 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syatibi (w. 790 H) dan lain sebagainya. Dalam makalah ini akan menjelaskan riwayat Al-Syatibi beserta pemikiran ekonomi Islamnya.

II.   Pembahasan
A.    Riwayat Hidup
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi merupakan salah seorang muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupanya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama Al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.
Al-Syatibi dibesarkan dan memperolaeh seluruh pendidikanya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi Al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkanya. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh  yang bermadzhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum  al-wasil (metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat).namun, Al-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arab dan khususnya Ushul fiqih. Ketertarikanya terhadap ilmu ushul fiqih karena, menurutnya, metodelogi dan falsafah fiqih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi keilmuwanya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya. Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).[1]

B.     Konsep Maqasid al-Syari’ah
Sebagai sumber utama agama islam,  Alquran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syari’ah. Al-Qur’an tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam Islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, nabi Muhammad saw. menjelaskan melalui berbagai haditsnya. Kedua sumber inilah (Al-qur’an dan hadits nabi) yang kemudian dijadikan pijakan ulama’ dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang muamalah. Dalam kerangka ini, Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah.
Secara bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan,
“sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia ini dan akhirat.”
Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada giliranya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa syari’ah berurusan dengan perlindungan mashalih, syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih walaupun dengan cara preventif  seperti syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apapun yang secara aktual atau pontensial merusak mashalih.
1.      Pembagian maqasid al-syari’ah
Menurut al-syatibi,kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa,akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid  menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriat, hajiyat dan tahsiniyat.
a.       Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh, penunaian rukun Islam pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri masing-masing merupakan  salah  satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
b.      Hajiyat
Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, musaqat, muzara’ah dan ba’i salam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainya yang bertujuan untuk memudahkan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
c.       Tahsiniyat
Tujuan maqashid ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang, dan penghias kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kehalusan dalam bicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
2.      korelasi antara dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Al-syatibi menyimpulkan korelasi antara dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat sebagai berikut:
a.       Maqashid dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
b.      Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
c.       Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
d.      Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat.
e.       Pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid dharuriyat secara tepat.
Apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqashid tersebut tidak dapat dipisahkan. Tampaknya bagi Al-Syatibi,  tingkat hajiyat merupakan penyempurna tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat dharuriyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat. lebih jauh, ia menyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqashid yang lebih tinggi (dharuriyat dan hajiyat).[2]

C.    Beberapa Pandangan Al-Syatibi di bidang Ekonomi
1.      Objek Kepemilikan
Pada dasarnya, Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber dayayang dapat menguasai hajat hidup  orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaanya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai  kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.
2.      Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggug jawab ini, masyarakat bisa mengalihkanya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.[3]
D.    Wawasan Modern Teori asy-Syatibi.
Syariah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Asy-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti didefinisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs). Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya.
Oleh karena itu, problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia.[4] Sejumlah besar preferensi kebutuhan dalam perspektif islam lebih mempresentasikan tingkat kebutuhan yang sebenarnya dari pada tingkatan kebutuhan sekedar.[5]  Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep Maqashid al-Syariah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep Motivasi. Seperti yang telah kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang berperilaku.
Motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan konsep maqashid alsyari’ah, jelas bahwa dalam pandangan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat.[6]

III.Penutup
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi merupakan salah seorang muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupanya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama Al-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur, beliau wafat  pada tanggal 8 Sya’ban 790 H/1388 M.
Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah. Konsep ini  bertujuan melindungi kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan dapat diwujudkan dan dipelihara,yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Maqasid al-syari’ah dibagi menjadi tiga tingkatan,yaitu dharuriat, hajiyat dan tahsiniyat.
Tingkat hajiyat merupakan penyempurna tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat dharuriyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat. lebih jauh, ia menyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqashid yang lebih tinggi (dharuriyat dan hajiyat).
Beberapa Pandangan Al-Syatibi di bidang Ekonomi antara lain, yaitu
1.      Objek Kepemilikan
2.      Pajak
Seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs). Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya.
 Problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia. Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep Maqashid al-Syariah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep Motivasi. Motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan konsep maqashid alsyari’ah, jelas bahwa dalam pandangan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat.



DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam edisi Kedua, Jakarta: PT Raja Grofindo Persada, 2004
http://shariaeconomics.blogspot.com/2010/10/resume-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.html







[1]  Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua, Jakarta: PT Raja Grofindo Persada, 2004 hal. 316-318
[2] Ibid., hal. 318-323
[3] Ibid., hal. 323-324

Tidak ada komentar:

Posting Komentar